Sekolah Ramah Anak,..Mampukah kita wujudkan?

Sekolah bagi anak adalah rumah keduanya setelah rumahnya sendiri. Di sekolah anak menghabiskan waktunya kurang lebih 8 jam dalam sehari. Sekolah punya peran dalam membentuk karakter anak.

Pemerintah saat ini sedang gencar-gencarnya mensosialisasikan sekolah ramah anak.program sekolah ramah anak ini didasari oleh undang-undang no 23 tahun 2002 pasal 4 tentang perlindungan anak.

Prinsip-prinsip sekolah ramah anak diantaranya adalah anak mempunyai hak untuk dapat hidup tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.Anak diberikan hak untuk berpendapat dan didengarkan suaranya.

Sekolah harus bisa menciptakan suasana lingkungan belajar dan bermain yg aman dan nyaman sehingga tidak hanya menghasilkan out put yang berprestasi tapi juga menghasilkan siswa yg berkarakter.

            Tidak sedikit juga dari sekolah-sekolah yang mengeluarkan siswa-siswinya jika mereka bermasalah. Sekolah lupa bahwa fungsi pendidik adalah membimbing,mengajar,membina dan mendidik siswa. Merubah mereka dari yang tidak tahu menjadi tahu dan dari yang tidak baik menjadi baik. Dengan mengambil tindakan mengeluarkan siswa yang bermasalah artinya sekolah sudah melupakan fungsinya.

            Mengapa harus muncul istilah sekolah ramah anak?mampukah kita mewujudkannya?.

Pemerintah gencar mensosialisasikan sekolah ramah anak karena selama ini masih banyak  sekolah-sekolah yang memperlakukakan siswa siswinya dengan cara yang kurang ramah. Sering kita mendengar di sekolah-sekolah terjadi kekerasan fisik,psikis, pelecehan seksual, pemberian tugas yang membebani siswa , ancaman tidak memberi nilai dari guru bahkan cap ‘Nakal’ dan “anak yang selalu bermasalah” terhadap siswa yang dilebelin oleh guru terhadap siswa.

            Kekerasan fisik, psikis dan pelecehan seksual di sekolah tidak hanya dilakukan oleh pendidik. Sering kita baca dan lihat di surat kabar, televisi dan medsos anak-anak yang di bully oleh teman atau kakak kelasnya. Tidak sedikit anak yang merasa terancam oleh teman atau kakak kelasnya saat mereka berada di sekolah.

            Guru sebagai pendidik pun terkadang tidak bisa bersikap professional. Jika ada siswa yang pernah melakukan satu kesalahan tidak sedikit guru yang terus memberikan image negatif kepada anak tersebut. Hal ini menyebabkan anak menjadi frustasi, merasan tidak dihargai dan merasa diperlakukan tidak adil.

            Dari perasaan frustasi, merasa tidak dihargai dan merasa diperlakukan tidak adil, maka akan trjadi beberapa kemungkinan misalnya anak penjadi pendiam, minder, tidak ada lagi motivasi belajar bahkan menjadi seorang yang pendendam. Sekolah yang diharapkan dapat menghasilkan manusia-manusia yang berprestasi, berkompetensi dan sukses tapi malah menghasilkan produk lululsan yang gagal. Lantas siapakah yang harus disalahkan?pemerintahkah? kepala dinaskah?kepala sekolahkah?gurukah?atau siswa itu sendiri?

            Masalah tidak akan selesai jika kita hanya berkutat mencari kambing hitam. Harus ada solusi untuk merubah semua.Harus ada tindakan untuk bisa mengembalikan sekolah pada fungsinya.

            Dalam Peraturan Menteri No 12 Tahun 2011 sekolah ramah anak didefinisikan sebagai sekolah yang mampu menjamin pemenuhan hak anak dalam proses belajar mengajar, aman,nyaman, bebas dari kekerasan dan diskriminasi, serta menciptakan ruang bagi anak untuk belajar, berinteraksi, berpartisipasi, bekerja sama, menghargai keberagaman, toleransi dan perdamaian. Masih berdasarkan sumber yang sama, sebuah sekolah dapat disebut Sekolah Ramah Anak bila memenuhi kriteria berikut ini :

  • Punya kebijakan anti kekerasan (sesama siswa , tenaga pendidik dan kependidikan, termasuk pegawai sekolah lainnya.
  • Memiliki program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)
  • Lingkungan sekolah yang bersih dan sehat
  • Menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat
  • Sekolah Adiwiyata
  • Memiliki warung / kantin kejujuran
  • Siswa terlibat /dilibatkan dalam pembuatan kebijakan sekolah.

Program sekolah ramah anak tidak akan bisa terwujud jika tidak ada kerja sama dari semua pihak. Menjadi tantangan tersendiri bagi para pendidik untuk meninggalkan kebiasaan mendisiplinkan anak dengan cara memarahi, mengancam dengan nilai, menghilangkan kebiasaan memberi label negatif kepada siswa yang bermasalah. Mari kita sentuh hati anak dengan hati. Dekati mereka dengan kasih sayang. Sebagai seorang muslim kita punya uswah dalam mendidik anak yaitu Nabi kita Rasulullah Saw.

Lalu bagaimana dengan kasus kekerasan, pembullyan yang dilakukan oleh sesama siswa?mari kita coba untuk mencarikan solusinya. Sekolah Harus membuat program yang melibatkan semua siswa,misalnya:

  • Terapkan aturan yang jelas dan tegas untuk siswa yang melakukan kekerasan/ pembullyan dan aturan ini harus disosialisasikan kepada seluruh warga sekolah.
  • Mengadakan camping bersama dimana di dalam acara camping itu siswa diber tugas kerja kelompok yang materinya bisa menimbulkan rasa kasih sayang diantara mereka
  • Setiap pagi sebelum bel masuk kepala sekolah mengajak beberapa siswa,dan guru berdiri di gerbang sekolah untuk menyambut dan menyapa siswa dan guru lain yang baru datang.
  • Program sholat duha
  • Program sholat berjamaah
  • Tadarus
  • Melaksanakan Baksos yang melibatkan semua siswa
  • Berbuka puasa bersama di sekolah di bulan Ramadhan.

Mungkin akan banyak kendala yang akan dihadapi disaat kita mengawali program-program ini tapi percayalah dengan meluruskan niat dan keinginan yang kuat insya Allah apa yang kita harapakan dalam mewujudkan sekolah ramah anak akan segera terwujud.

Sudah siapkah kita ambil bagian dalam mewujudkan Sekolah Ramah Anak? Jawabannya adalah…Insya Allah Siap!!

Aksi Nyata Modul 3.3.a.10 Pengeloaan Program yang Berdampak pada Murid

  1. Peristiwa (Fact)

Al-Qur’an adalah kitab Allah Swt.yang merupakan petunjuk bagi manusia. Manusia tidak akan mampu menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk manakala dia tidak faham isi dan makna Al-Qur’an. Rasulullah Saw.bersabda, “bacalah Al-Qur’an, sebab ia akan datang memberikan syafaat pada hari kiamat kepada pemilik (pembaca-pengamal)nya.” HR. Ahmad.

         Fenomena pada saat ini masih banyak siswa yang belum membiasakan diri membaca Al-Qur’an, bahkan tidak sedikit siswa yang masih buta huruf baca Al-Quran. Kondisi ini cukup memprihatinkan. Mayoritas mereka muslim, kitab suci mereka adalah Al-Qur’an yang dijadikan sebagai pedoman hidup. Bagaimana Al-Quran akan dijadikan pedoman hidup, diamalkan perintahnya jika membacanya saja tidak pernah bahkan tidak bisa membacanya.

     SMA Negeri 2 Kota Bogor sudah 12 tahun  melaksanakan program SMANDA Mengaji setiap pagi sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai. Adapun tekhnik pelaksanaanya adalah tadarus bersama dengan dipimpin oleh beberapa siswa secara bergilir perwakilan setiap kelas. Petugas memimpin tadarus di ruang room call, dan siswa yang ada di kelas didampingi guru mata pelajaran jam pertama mengikuti tilawah yang dipandu oleh petugas tadarus di room call. Kegiatan keagamaan lainnya adalah sholat dhuha dan sholat berjamaah zuhur dan asar. Tetapi semua krgiatan itu terhenti saat covid melanda. Kegiatan SMANDA mengaji tetap dilaksanakan secara online hanya pelaksanaannya tidak bisa maksimal. Saat ini kegiatan pembelajaran boleh dilaksanakan secara tatap muka, maka saya ingin kembali menggerakkan program SMANDA Mengaji ini. Kegiatan SMANDA Mengaji ini ingin saya lebih optimalkan dengan tambahan program yaitu Genta Smanda One Day One Juz atau Gerakan Cinta Al-Quran Smanda satu hari satu juz. Program SMANDA Mengaji tetap berjalan seperti biasa hanya siswa akan diwajibkan untuk mengaji tidak hanya saat sebelum kegiatan pembelajaran dimulai tetapi disetiap waktu saat mereka punya waktu luang dan menargetkan tilawahnya satu hari satu juz. Saya yakin dengan pembiasaan ini maka siswa akan tumbuh rasa cintanya terhadap Al-Quran dan dapat menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup serta melaksanakan ajaran yang terkandung di dalam Al-Qura’an.

      Jika dalam hati dan jiwa para siswa sudah tertanam rasa cinta Al-Quran dan mereka dapat menciptakan budaya positif di sekolah dengan berperilaku sesuai ajaran Al-Qur’an maka akan lahirlah siswa-siswa yang berkarakter baik (berakhlakul karimah).

      Tekhnik pelaksanaan dari program Genta Smanda One Day One Juz yaitu setiap kelas punya kewajiban mengkhotamkan (menyelesaikan)  Al-Qur’an sebanyak 3 Juz. Setiap kelas akan membagi kelompok menjadi 3 kelompok. Masing-masing kelompok mengkhotamkan (menyelesaikan 1 juz). Dengan demikian setiap siswa dalam kelompok akan membaca 1-8 ayat atau lebih setiap hari tergantung banyaknya ayat dalam setiap surat yang dibaca. Diharapkan setiap bulan semua kelas akan mengkhotamkan 30 Juz.

          Guru Pendidikan Agama Islam kelas X, XI dan XII menyiapkan lembar kontrol dan wali kelas masing-masing kelas akan ikut memonitoring, mengingatkan dan memotivasi perwaliannya. Siswa dapat membaca Al-Quran di sela-sela waktu mereka istirahat sehingga tidak mengganggu jam pembelajaran. Bahkan mereka bisa membaca Al-Qur’annya di rumah, yang penting satu hari satu juz dapat diselesaikan. Jika sekolah libur mereka masih dapat mengaji bersama menyelesaikan 1 juz. Tekhnik pelaksanaan tetap diserahkan kepada siswa, mereka bisa melaksanakannya seperti apa dan kapan waktunya, yang penting target satu juz sehari dapat tercapai. Evaluasi kegiatan akan dilaksanakan setiap bulan oleh guru Pendidikan Agama Islam setiap jenjang.

            Program Genta Smanda One Day One Juz ini merupakan salah satu strategi dari Visi dan Misi SMA Negeri 2 Kota Bogor. Visi SMAN 2 Kota Bogor yaitu : “Terwujudnya lulusan yang beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, ramah, sehat, cerdas, berprestasi, dan berbudaya lingkungan serta mampu bersaing di tingkat global.

          Misi SMAN 2 Kota Bogor yang sesuai dengan program ini adalah Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan melalui kegiatan keagamaan serta mewujudkan religius culture di dalam dan di luar lingkungan sekolah.

          Program Genta Smanda One Day One Juz ini juga merupakan pengembangan dari Profil Pelajar Pancasila yaitu Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Berakhlak mulia. Dan program inipun merupakan implementasi dari pengelolaan program yang berdampak pada murid.

            Foto-Foto Kegiatan

                       

2. Perasaan (Feeling)

          Saya merasa optimis program Genta Smanda One Day One Juz akan terlaksana sesuai dengan yang diharapkan. Program ini akan mewujudkan siswa yang Beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlakul karimah yang merupakan Profil Pelajar Pancasila pertama. Saya merasa senang karena semua warga sekolah ikut melaksanakan dan mendukung program ini. Penguatan karakter siswa yang baik akan terwujud melalui program ini. Siswa akan mulai mencintai Al-Qur’an dan menjadika Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, melalui budaya positif pembiasaan Genta Smanda One Day One Juz.

3. Pembelajaran (Finding)

Pembelajaran yang dapat diambil dari pelaksanaan kegiatan program ini adalah siswa diajak untuk bersama-sama melaksanakan program ini dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Siswa juga dilibatkan untuk menentukan tekhnik pelaksanaan program ini sehingga mereka merasa diakui keberadaan dan potensinya. Tidak ada hukuman bagi yang tidak menyelesaikan membaca satu hari satu ayat, tetapi mereka akan terus dimotivasi dan diingatkan kembali hal-hal bai kapa yang akan mereka terima dan rasakan saat mereka membaca Al-Qur’an dan mengamalkannya.

4. Penerapan ke depan (Future)

         Penerapan ke depannya akan ada perubahan  yaitu satu juz tidak diselesaikan dalam satu kelompok tetapi satu orang satu hari satu juz. Kenapa saya merencanakan ini karena ternyata para siswa sangat antusias dan bersemangat dalam melaksanakan program ini. Untuk tahap awal program ini dilaksanakan dengan cara satu hari satu juz diselesaikan oleh satu kelompok dalam setiap kelas. Dan setiap kelas terdiri dari tiga kelompok menyelesaikan tiga juz dalam satu hari.

Hanya kepada Allah lah saya memohon dan berharap semoga program Genta Smanda One Day One Juz dapat terus dilaksanakan dan menghasilkan para siswa yang mencintai Al-Qur’an dan berahkak Al-Quran.Aamiin Yaa Rabbal’aalamiin.

3.3.a.6 Refleksi Terbimbing-Pengelolaan Program Yang Berdampak Pada Murid

Setelah mempelajari modul 3.3.a.6. materi Pengelolaan Program Yang Berdampak Pada Murid saya harus dapat melakukan refleksi dan metakognisi terhadap proses pembelajaran yang telah saya lewati , dan apa yang harus saya pertimbangkan kemudian dalam menyusun program/kegiatan yang berdampak  pada murid. Untuk memudahkan menulis refleksi tersebut, saya akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini.

1. Apa yang menarik bagi Anda setelah mempelajari pengelolaan program yang berdampak pada murid? 

Yang menarik bagi saya setelah mempelajari pengelolaan program yang berdampak pada murid yaitu :

a. Memahami konsep kepemimpinan murid dan kaitannya dengan Profil Pelajar Pancasila.

b. Memahami suara (voice), pilihan (choice), dan kepemilikan (ownership) murid.

c. Menemukenal dan menganalisis elemen pilihan, kepemilikan, dan suara dalam beberapa contoh program/kegiatan pembelajaran yang dilakukan di sekolah.

d. 7 Lingkungan yang menumbuhkembangkan kepemimpinan murid dan peran komunitasnya.

e. Belajar menganalisis contoh situasi yang mempromosikan suara, pilihan dan kepemilikan murid.

2. Apa yang mengejutkan yang Anda temukan dalam proses pembelajaran tentang pengelolaan program yang berdampak pada murid? 

Hal yang mengejutkan yang saya temukan dalam proses pembelajaran tentang pengelolaan program yang berdampak pada murid yaitu pada prinsipnya murid memiliki kemampuan dan keinginan untuk secara positif mempengaruhi kehidupan mereka sendiri dan dunia di sekitar mereka. Ketika murid menjadi agen dalam pembelajaran mereka sendiri, maka mereka akan berperan aktif dalam memutuskan apa dan bagaimana mereka akan belajar, mereka akan cenderung menunjukkan motivasi yang lebih besar untuk belajar dan lebih mampu menentukan tujuan belajar mereka sendiri. Murid-murid secara natural mempelajari keterampilan belajar (belajar bagaimana belajar). Keterampilan belajar ini adalah sebuah keterampilan yang sangat penting, yang dapat dan akan mereka gunakan sepanjang hidup mereka.

Murid-murid kita sebenarnya memiliki kemampuan atau kapasitas untuk mengambil bagian atau peranan dalam proses belajar mereka sendiri. Namun, terkadang guru atau orang dewasa memperlakukan murid-murid seolah-olah mereka tidak mampu membuat keputusan, pilihan atau memberikan pendapat terkait dengan proses belajar mereka. Kadang-kadang kita bahkan tanpa sadar membiarkan murid-murid kita secara sengaja menjadi tidak berdaya (learned helplessness), dengan secara sepihak memutuskan semua yang harus murid pelajari dan bagaimana mereka mempelajarinya, tanpa melibatkan peran serta mereka dalam proses pengambilan keputusan tersebut. 

3. Apa yang berubah yang akan Anda lakukan setelah memahami atau mempelajari materi ini?

Perubahan yang akan saya lakukan setelah memahami dan mempelajari materi ini adalah saya akan membuat program/kegiatan yang berdampak pada murid dengan menyiapkan lingkungan yang dapat menumbuhkembangkan kepemimpinan murid, karena sebagaimana padi yang hanya akan tumbuh subur pada lingkungan yang sesuai, maka program/kegiatan sekolah yang berdampak pada murid dan menumbuhkembangkan kepemimpinan murid pun akan tumbuh dengan lebih subur jika sekolah dapat menyediakan lingkungan yang cocok. Menjadikan murid menjadi pemimpin dalam proses pembelajaran mereka sendiri (murid memiliki agency). Sebagai guru saya akan menyediakan lingkungan yang menumbuhkan budaya di mana murid memiliki suara, pilihan, dan kepemilikan dalam apa yang mereka pikirkan, niat yang mereka tetapkan, bagaimana mereka melaksanakan niat mereka, dan bagaimana mereka merefleksikan tindakan mereka. Saya harus dapat menciptakan situasi untuk mempromosikan suara, pilihan dan kepemilikan murid.

4. Apa yang menantang  bagi Anda untuk memahami apa yang disampaikan dalam modul ini?

Yang menantang bagi saya untuk memahami apa yang disampaikan dalam modul ini adalah saya harus dapat menciptakan lingkungan yang dapat menumbuhkembangkan kepemimpinan murid. Menumbuhkan lingkungan yang menumbuhkan budaya di mana murid memiliki suara, pilihan dan kepemilikan. Saya harus dapat menjadikan murid sebagai pemimpin /agen dalam proses pembelajarannya sehingga dapat terbentuk karakter Profil Pelajar Pancasila.

5. Sumber-sumber dukungan yang saya miliki untuk membantu saya menyusun program yang berdampak pada murid.

Dalam rangka mewujudkan lingkungan belajar yang dapat menumbuhkan kepemimpinan murid, saya dan sekolah tentunya tidak dapat bekerja sendiri. saya akan memerlukan dukungan dari berbagai pihak. Salah satunya dari komunitas. Komunitas adalah bentuk dari aset sosial yang dimiliki sekolah yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas program/kegiatan pembelajaran di sekolah. komunitas di sini dapat terdiri dari murid, guru, orang tua, orang dewasa lain yang ada di sekitar murid, dan masyarakat atau lingkungan sekitar, yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi proses belajar murid. Sumber-sumber dukungan lain yaitu aset-aset lain yang dimiliki oleh sekolah diantaranya aset fisik, aset finansial, aset lingkungan/alam, aset politik serta aset agama dan budaya.

3.2.a.8. Elaborasi Pemahaman – Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya

  1. Setelah menonton video tersebut tuliskanlah hal-hal menarik yang anda temukan dari video tersebut yang berhubungan dengan materi kita, yaitu Pemimpin Pembelajaran Dalam Pengelolaan Sumber Daya. Apa peran kita sebagai pemimpin dalam video tersebut ?
  2. Buatlah Pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang akan mengelaborasi pemahaman anda mengenai materi ini.

Hal menarik yang saya temukan dalam video itu adalah saya melihat dan menyaksikan murid-murid yang hebat, kreatif dan inovatif dan Guru hebat yang berhasil mengarahkan, membimbing dan mendampingi murid-muridnya dalam mengelola aset/sumber daya yang dimiliki oleh sekolah untuk pembelajaran. Dalam video tersebut tampak bahwa sumber daya yang dimiliki oleh sekolah ada 3 aset yang nampak, yaitu modal sumber daya manusia (guru dan murid), modal fisik (ruang kelas dan perpustakaan) dan modal lingkungan/alam (lahan luas untuk bercocok tanam dan pepohonan besar). Terlihat murid-murid sangat bersemangat dan kreatif dalam mengikuti pembelajaran. Guru dapat merancang pembelajaran yang dapat merangsang tumbuhnya potensi murid sehingga murid dapat berkreasi sendiri dan berinovasi. Dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki sekolah, guru dapat memberikan pengalaman baru dan cakrawala berpikir yang lebih luas lagi kepada murid dengan menggunakan pendekatan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset (Asset Based Community Development). Pendekatan Berbasis Aset ini menekankan kepada kemandirian dari suatu komunitas untuk dapat menyelesaikan tantangan yang dihadapinya dengan bermodalkan kekuatan dan potensi yang ada di dalam diri mereka sendiri. Dengan demikian hasil yang diharapkan akan lebih berkelanjutan. Dalam tayangan video tersebut murid-murid SD Inpres Ondo Ondolu SPC Kecamatan Batui Kabupaten banggai Sulawesi, mereka mampu untuk mengeluarkan ide-ide inovatif dan berkreasi. Merekapun dapat berkolaborasi dengan baik bersama teman-temannya untuk melakukan suatu perubahan di sekolah mereka dengan bermodalkan kekuatan dan potensi yang ada dalam diri mereka sendiri. Guru dan murid dapat mengelola lingkungan/alam sehingga dapat bermanfaat dalam mencapai tujuan pembelajaran.

Peran Guru sebagai pemimpin dalam video tersebut adalah :

  1. Menggali dan mengembangkan potensi/kekuatan yang dimiliki oleh setiap murid
  2. Merancang pemetaan potensi yang dimiliki sekolah dengan menggunakan pendekatan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset (Asset Based Community Development).
  3. Memberikan edukasi kemandirian dan tanggung jawab kepada murid untuk melakukan perubahan yang positif yang ada pada diri mereka sendiri.
  4. Mendorong adanya kolaborasi atau kerja sama yang baik antar sesama murid dalam pemanfaatan sumber daya di lingkungan sekolah sebagai upaya melakukan perubahan yang positif.

Pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang akan mengelaborasi pemahaman saya mengenai materi ini yaitu :

  1. Strategi apa yang dapat dilakukan sebagai pemimpin pembelajaran agar semua murid dapat muncul dan mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya sehingga dapat mengelola dan memanfaatkan sumber daya lain yang dimiliki oleh sekolah?
  2. Bagaimana cara untuk dapat memaksimalkan sumber daya yang ada di sekolah dengan menggunakan BAGJA dan pendekatan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset?
  3. Tahapan-tahapan apa yang harus dilalui agar pengelolaan sumber daya di sekolah benar-benar dapat bermanfaat dan dapat meningkatkankan kualitas sekolah ?

Terimakasih, Salam Guru Penggerak Angkatan 4

3.1.a.7 Demonstrasi Kontekstual – Pengambilan Keputusan Sebagai Pemimpin Pembelajaran

Bagaimana anda akan mentransfer dan menerapkan pengetahuan yang anda dapatkan di program guru penggerak ini di sekolah / lingkungan asal anda?

  1. Setelah saya mempelajari dan memahami setiap  alur MERRDEKA yang ada dalam materi ini sehingga saya akan dapat melaksanakan pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran dengan menerapkan paradigma pengambilan keputusan, 3 prinsip pengambilan keputusan dan 9 langkah pengambilan keputusan serta pengujian keputusan. 
  2. Saya akan mentransfer pengetahuan ini dengan cara diseminasi/sosialisasi kepada Kepala Sekolah, Teman-teman di komunitas praktisi, dan teman-teman sejawat di SMAN 2 Kota Bogor serta teman-teman di MGMP PAI Kota Bogor.
  3. Saya akan melakukan Aksi Nyata kaitannya dengan modul pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran dengan berkolaborasi bersama murid dan teman sejawat.

Apa langkah-langkah awal yang akan Anda lakukan untuk memulai mengambil keputusan berdasarkan pemimpin pembelajaran?

  1. langkah awal yang akan saya lakukan adalah menganalisa apakah situasi yang saya hadapi adalah termasuk dilema etika atau bujukan moral.
  2. Ketika kita menghadapi situasi dilema etika, akan ada nilai-nilai kebajikan mendasari yang bertentangan seperti cinta dan kasih sayang, kebenaran, keadilan, kebebasan, persatuan, toleransi, tanggung jawab dan penghargaan akan hidup. Maka secara umum kita dapat mengidentifikasi paradigma mana yang akan kita pakai dari 4  paradigma yaitu : Individu lawan masyarakat (individual vs community), Rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy),Kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty),Jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term).
  3. Memilih prinsip pengambilan keputusan yaitu : 1) Berpikir Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based Thinking); 2) Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking);  3) Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking).
  4. Menerapkan 9 langkah Pengambilan dan Pengujian Keputusan,diantaranya adalah: 1) Mengenali nilai-nilai yang saling bertentangan;  2) Menentukan siapa yang terlibat dalam situasi ini ; 3) Kumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan situasi ini ; 4) Pengujian benar atau salah (Uji Legal, Uji Regulasi/Standar Profesional, Uji Intuisi, Uji Publikasi, Uji Panutan/Idola) ; 5) Pengujian Paradigma Benar lawan Benar;  6) Melakukan Prinsip Resolusi , dari 3 prinsip penyelesaian dilema, mana yang akan dipakai? Berpikir Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based Thinking), Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking),  Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking) ; 7) Investigasi Opsi Trilema ; 8) Buat Keputusan ; 9) Lihat lagi Keputusan dan Refleksikan.
  5. Berdiskusi dengan teman sejawat dan meminta saran agar pengambilan keputusan yang dilakukan tepat dan efektif.
  6. Bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan dan mendasarkan keputusan pada nilai-nilai kebajikan universal.
  7. Mengambil pelajaran dari keputusan yang telah diambil untuk dijadikan acuan bagi kasus-kasus selanjutnya.

Mulai kapan anda akan menerapkan langkah-langkah tersebut, hari ini, besok, minggu depan, hari apa? Catat rencana Anda, sehingga Anda tidak lupa.

       saya akan menerapkan langkah-langkah tersebut sesegera mungkin terutama saat saya mengalami situasi  dilema etika saat pembelajaran di kelas ataupun di luar pembelajaran sehingga saya harus segera mengambil keputusan. Atau saat teman sejawat mengalami situasi dilema etika dan saya akan mendampinginya dalam pengambilan keputusan. Selanjutnya saya menerapkannya secara berkelanjutan. Untuk kegiatan sosialisasi saya dan rekan-rekan komunitas praktisi sudah menjadwalkan kegiatan Workshop pada minggu ketiga di bulan Mei tahun 2022 , karena pada bulan Mei minggu pertama masih libur Idul Fitri dan masuk pada minggu kedua di bulan Mei tahun 2022. Workshop ini akan diikuti oleh seluruh guru di SMAN 2 Kota Bogor.

Siapa yang akan menjadi pendamping anda, dalam menjalankan pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran? Seseorang yang akan menjadi teman diskusi Anda untuk menentukan apakah langkah-langkah yang Anda ambil telah tepat dan efektif.

      Yang akan mendampingi saya dalam pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran :

  1. Kepala Sekolah sebagai penentu kebijakan di sekolah SMAN 2 Kota Bogor
  2. Teman-teman sejawat yang tergabung di dalam komunitas praktisi di SMAN 2 Kota Bogor 

      Kepala Sekolah dan teman-teman yang tergabung dalam komunitas praktisi akan menjadi teman diskusi dan pemberi saran dan masukan saat saya akan menentukan langkah-langkah dalam pengambilan keputusan agar keputusan yang saya ambil adalah keputusan yang tepat dan efektif.

Jurnal Refleksi Minggu Ke 15 Model 5R

Model refleksi 5M diadaptasi dari model 5R (Bain, dkk, 2002, dalam Ryan & Ryan, 2013). 5M terdiri
dari langkah-langkah berikut:

  1. Mendeskripsikan (Reporting): menceritakan ulang peristiwa yang terjadi
  2. Merespon (Responding): menjabarkan tanggapan yang diberikan dalam menghadapi
    peristiwa yang diceritakan, misalnya melalui pemberian opini, pertanyaan, ataupun
    tindakan yang diambil saat peristiwa berlangsung.
  3. Mengaitkan (Relating): menghubungkan kaitan antara peristiwa dengan pengetahuan,
    keterampilan, keyakinan atau informasi lain yang dimiliki.
  4. Menganalisis (Reasoning): menganalisis dengan detail mengapa peristiwa tersebut dapat
    terjadi, lalu mengambil beberapa perspektif lain, misalnya dari teori atau kejadian lain
    yang serupa, untuk mendukung analisis tersebut.
  5. Merancang ulang (Reconstructing): menuliskan rencana alternatif jika menghadapi
    kejadian serupa di masa mendatang.

Pada minggu ke 15 ini saya memulai dengan modul 2.3 tentang coaching. Dalam alur MERDEKA saya mulai pada tahap Mulai dari diri, Eksplorasi konsep, dan Ruang Kolaborasi. Pada tahap mulai dari diri saya dan teman CGP lainnya dibimbing untuk memberikan refleksi terhadap tanggapan dari kasus-kasus yang mungkin terjadi di sekolah yang digunakan fasilitator untuk mengembangkan modul coaching ini agar sesuai dengan kebutuhan. Kemudian pada tahap Eksplorasi Konsep saya belajar mengenai apa itu coaching dalam pendidikan dan sekolah. Saya juga mempelajari tentang perbedaan coaching, mentoring dan konseling. Komunikasi yang memberdayakan dan model coaching TIRTA.

Pada tahap ruang kolaborasi bersama fasilitator saya dan rekan CGP lain mencoba mengimplementasikan coaching dalam konteks pendidikan dan sekolah dengan melatih keterampilan coaching dengan berbagai studi kasus dan membentuk komunitas praktisi untuk melakukan praktek coaching model TIRTA. Dalam Ruang kolaborasi kami saling memberikan umpan balik terhadap coaching yang dilakukan oleh CGP lain untuk menguatkan pemahaman kami dalam memberikan coaching terhadap masalah yang dihadap murid atau rekan sejawat.

Pembelajaran coaching sangat penting sebagai bagian dari proses layanan bimbingan pada murid yang dapat menunjang pembelajaran sosial emosional. Coaching sangat bermanfaat dalam menyelesaikan masalah yang dialami murid atau teman sejawat dimana solusinya dapat tergali dengan sendirinya dari kekuatan yang dimiliki murid.

Pembelajaran coaching berkaitan dengan pendidikan di sekolah. Dalam pelayanan bimbingan di sekolah praktek coaching ini sangat dibutuhkan sebagai kesatuan yang utuh. Dalam tugasnya sebagai pembimbing guru berperan sebagai konselor, mentor dan coach.

Dari keterkaitan antara coaching dan keterampilan lain yang telah disampaikan, saya dapat melakukan analisa bahwa keterampilan coaching ini adalah bentuk pendekatan komunikasi seorang pendidik. Pendekatan coaching dalam komunikasi diperlukan karena kita melihat murid kita sebagai sosok merdeka. sosok yang dapat menentukan arah dan tujuan pembelajarannya serta meningkatkan potensinya sendiri. Terkadang kita salah bertindak saat membantu murid menyelesaikan masalahnya, kita secara langsung memberikan solusi dan nasehat. Dalam coaching murid akan bisa menyelesaikan masalahnya secara mandiri,

Pembelajaran di minggu ini membuat saya memiliki paradigma baru tentang bagaimana membangun komunikasi yang tudak langsung memberikan nasihan dan solusi pada coachee. Kita harus dapat mendorong murid untuk meningkatkan potensinya. Kedepannya saya akan membentuk komunitas dan melaksanak praktek coaching dengan komuntas yang ada.

Jurnal Refleksi Minggu ke 16 Model Gaya Round Robin_Coaching

Model 9: Gaya Round Robin
Berikut panduan pertanyaan untuk membuat refleksi model ini:
1) Apa hal yang paling Anda kuasai setelah pembelajaran hari ini? Mengapa Anda merasa hal
tersebut bisa membuat Anda sangat menguasainya?
2) Apa hal yang belum Anda kuasai setelah pembelajaran hari ini? Apa yang akan Anda
lakukan untuk mengatasi hal tersebut?
3) Apa hal yang masih membingungkan Anda dari pembelajaran hari ini? Ceritakan hal-hal
apa saja yang membuat hal tersebut membingungkan.

Pada minggu ke 16 ini saya mengikuti sesi Refleksi terbimbing, Demonstrasi Kontekstual dan Elaborasi pemahaman (sesi instruktur). Setelah mengikuti sesi-sesi itu saya menjadi memahami lebih dalam teknik Coaching yang efektif dalam optimalisasi pengembangan kompetensi pendidik dan murid. Saya jadi tahu dan faham tentang langkah-langkah coaching dengan model TIRTA yang akan menuntun kita dalam proses coaching sehingga kita dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh coachee. Model TIRTA yang saya fahami itu adalah Tujuan, Identifikasi, Rencana Aksi dan Tanggung jawab.

Hal yang belum saya kuasai adalah dalam memunculkan pertanyaan-pertanyaan terbuka. Hal ini sulit bagi saya karena terkadang pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan buka memunculkan potensi coachee dalam menyelesaikan masalahnya tetapi terkadang saya malah memberikan arahan dan solusi sehingga sudah tidak bisa lagi dikatakan coaching. Saya akan terus belajar dan berlatih akan bisa menjadi coach yang handal. Kecenderungan seorang guru dalam bertanya adalah dengan memberikan arahan sehingga murid kita mampu menjawab sesuai yg diharapkan. Dalam menerapkan pendampingan dengan pendekatan  coaching di sekolah, peran yang sedemikian harus kita tanggalkan. Sementara itu dalam coaching, tugas coach adalah memfasilitasi coachee untuk mencapai tujuan yang dia inginkan, bukan yang coach inginkan. Kecenderungan seorang guru dalam bertanya adalah dengan memberikan arahan sehingga murid kita mampu menjawab sesuai yg diharapkan. Dalam menerapkan pendampingan dengan pendekatan  coaching di sekolah, peran yang sedemikian harus kita tanggalkan.

Dalam tekhnik coaching ada beberapa hal yang membingungkan saya, diantaranya adalah saat ingin meminta komitmen coachee dalam bertanggung jawab melaksanakan rencana aksi kedepannya. Karena masalah komitmen adalah masalah yang abstrak. Meyakinkan coachee untuk percaya bahwa dia bisa menceritakan masalahnya kepada saya tanpa harus takut masalahnya itu tersebar adalah merupakan kebingunan dan kesulitan lain saya dalam praktek coaching. Karena untuk membuat coachee percaya dan yakin bahwa kita adalah orang yang tepat untuk diajak bicara dalam mencari masalah yang sedang dihadapinya adalah perlu waktu dan pendekatan yang intensif agar coach dan coachee dapat dekat dan nyaman saat bercerita tentang permasalahan yang dihadapi tanpa harus dipaksa tapi atas kemauan dan kesadaran sendiri.

Jurnal Refleksi Minggu Ke-14 Model 4f Pembelajaran Sosial dan Emosional

4F merupakan model refleksi yang dikembangkan oleh Dr. Roger Greenaway. 4F dapat
diterjemahkan menjadi 4P, dengan pertanyaan sebagai berikut (disesuaikan dengan yang sedang
terjadi pada saat penulisan jurnal):

  1. Facts (Peristiwa): Ceritakan pengalaman Anda mengikuti pembelajaran pada minggu ini
    atau pada saat menerapkan aksi nyata ke dalam kelas? Apa hal baik yang saya alami dalam
    proses tersebut? Ceritakan juga hambatan atau kesulitan Anda selama proses
    pembelajaran pada minggu ini? Apa yang saya lakukan dalam mengatasi kendala
    tersebut?
    Pendidikan Guru Penggerak
    Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan – Maret 2021
  2. Feelings (Perasaan): Bagaimana perasaan Anda selama pembelajaran berlangsung? Apa
    yang saya rasakan ketika menerapkan aksi nyata ke dalam kelas? Ceritakan hal yang
    membuat Anda memiliki perasaan tersebut.
  3. Findings (Pembelajaran): Pelajaran apa yang saya dapatkan dari proses ini? Apa hal baru
    yang saya ketahui mengenai diri saya setelah proses ini?
  4. Future (Penerapan): Apa yang bisa saya lakukan dengan lebih baik jika saya melakukan hal
    serupa di masa depan? Apa aksi/tindakan yang akan saya lakukan setelah belajar dari
    peristiwa ini.
  1. Facts (Peristiwa)

Pada minggu ke 14 ini Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) memasuki fase elaborasi pemahaman, Koneksi Antar materi dan aksi nyata dan terakhir adalah pelaksanaan post test paket modul 2. Pada sesi Elaborasi Pemahaman saya dan teman-teman CGP lainnya mendapatkan penguatan materi Pembelaaran Sosial Emosional dari instruktur. Dari pemaparan instruktur saya lebih memahami tentang Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) dan bagaimana penerapannya pada pembelajaran di kelas. Implementasi pembelajaran Sosial Emosional (PSE) sangat beragam dan disesuaikan dengan karakteristik bentuk PSE yang akan diterapkan. PSE dapat diterapkan secara rutin, terintegrasi pada pelajaran atau secara protokol.

Pada sesi koneksi antar materi saya mengaitkan materi PSE ini dengan materi pembelajaran Berdiferensiasi . Pembelajaran Berdiferensiasi terintegrasi dengan Pembelajaran Sosial Emosional (PSE). Keduanya merupakan cara yang ditempuh oleh guru untuk memberikan pembelajaran yang berpihak pada murid. Pembelajaran sosial dan emosional  ini diawali dengan kesadaran penuh bahwa   tidaklah cukup apabila murid hanya mengembangkan kemampuan kognitifnya saja. Murid juga perlu mengembangkan aspek sosial dan emosionalnya. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetensi sosial-emosional berperan penting dalam keberhasilan akademik maupun kehidupan  seseorang.  Sebagai pendidik yang berinteraksi dengan murid dan orang dewasa di lingkungan sekolah Pembelajaran sosial dan emosional  ini diawali dengan kesadaran penuh bahwa   tidaklah cukup apabila murid hanya mengembangkan kemampuan kognitifnya saja. Murid juga perlu mengembangkan aspek sosial dan emosionalnya. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetensi sosial-emosional berperan penting dalam keberhasilan akademik maupun kehidupan  seseorang.  Sebagai pendidik yang berinteraksi dengan murid dan orang dewasa di lingkungan sekolah. Implementasi pembelajaran berdiferensiasi dan Pembelajaran Sosial Emosional saya terapkan dalam Aksi Nyata PSE dengan melibatkan murid secara langsung. Dari aksi nyata yang saya lakukan dapat dijadikan refleksi pada pembelajaran berikutnya.

2. Feelings (Perasaan)

Saya menemukan sesuatu yang baru dan sangat luar biasa saat saya mempelajari pembelajaran sosial emosional. Saya termotivasi untuk segera menerapkannya dalam pembelajran di kelas. Sebagai guru saya dapat mengembangkan kompetensi sosial dan emosional murid secara optimal melalui suasana belajar dan proses pembelajaran yang sistematik,  menyeluruh, dan seimbang. Pembelajaran yang menghasilkan pengalaman belajar yang dilandasi  kasih sayang, perhatian yang berkualitas,  keterbukaan,  rasa ingin tahu,  sikap apresiatif dan semangat bertumbuh, yang dilakukan secara  mandiri maupun bergotong-royong. Saya merasa optimis jika saya menerapkan pembelajaran sosial dan emosional di kelas maka akan tercipta hubungan yang harmonis antara guru dan murid, murid dan murid dan antar sesama warga sekolah. Murid akan merasa nyaman belajar sehingga tujuan yang diharapkan akan tercapai.

3. Findings (Pembelajaran)

Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hajar Dewantara  dalam bukunya “Bagian Pertama : Pendidikan (2011) mengatakan bahwa pendidikan merupakan daya dan upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual) dan tubuh anak agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan anak yang sesuai dengan dunianya. 

Selaras dengan pemikiran Bapak Ki Hajar Dewantara,  Pembelajaran Sosial dan Emosional berbasis kesadaran penuh adalah upaya untuk  menciptakan ekosistem sekolah yang mendorong  bertumbuhnya budi pekerti, selain aspek intelektual. Lewat Pembelajaran Sosial dan Emosional, murid diajak untuk  menyadari, melihat, mendengarkan, merasakan, mengalami  berbagai pengalaman belajar yang dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif mengenai aspek sosial dan emosional. Dengan Pembelajaran Sosial dan Emosional ini selaras dengan pendidikan karakter. Pembelajaran Sosial Emosional yang dikembangkan dalam 5 kompetensi sangat mendukung dan relevan dengan gerakan pendidikan karakter. Mulai dari kesadaran diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial, keterampilan relasi dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.

4. Future (Penerapan)

Setelah saya mempelajari tentang pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial dan emosional, maka saya akan merancang pembelajaran dengan menyusun Rencana Pelaksanan Pembelajaran (RPP) Berdiferensiasi terintegrasi pembelajaran sosial emosional. Dalam rancangan pembelajaran ini saya mencoba menggunakan model pembelajaran Galery Walk. Akan dibentuk kelompok sesuai dengan hasil pemetaan kebutuhan belajar murid. Dalam pembelajaran berdiferensiasi terintegrasi pembelajaran sosial emosional dengan model pembelajaran galery walk maka murid akan belajar sesuai dengan minat dan profil belajarnya. Adapun strategi pembelajaranya adalah difokuskan pada proses dan produk. Saat akan memulai pembelajaran saya akan mengecek kehadiran murid dengan cara yang tidak seperti biasanya saya lakukan. Saya akan meminta murid menyebutkan nama dan menggambarkan perasaannya saat itu. Penting bagi saya untuk mengetahui perasaan dan kondisi murid saat pembelajaran agar saya dapat memastikan bahwa murid-murid merasa nyaman saat melaksanakan pembelajaran dan tentunya akan dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.

Pembelajaran sosial emosional ini penting karena saat kompetensi sosial emosional murid berkembang maka aspek akademik merekapun berkembang. Mengabaikan perkembangan sosial dan emoional akan berdampak buruk

Jurnal Refleksi Minggu Ke-10 Model 4F-Pembelajaran Berdiferensiasi Modul 2.1.a.10

  1. Facts (Peristiwa)

Minggu ini, hari selasa tanggal 22 Februari 2022, saya jadwal mengajar di kelas XI MIPA 1. Pembelajaran dimulai pada pukul 9.00 WIB- 9.45 WIB. Karena pandemi ternyata belum berakhir dan covid meningkat lagi maka pembelajaran dilaksanakan secara online dengan durasi waktu setiap mata pelajaran hanya 45 menit. Dengan waktu yang sangat pendek tentunya guru harus benar-benar bisa mengatur waktu agar apa yang sudah dituangkan di dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dapat terlaksanakan. Materi yang sedang dibahas di minggu ini adalah tentang praktik ekonomi dalam Islam. Pada minggu sebelumnya saya sudah membagi murid menjadi 4 kelompok. Setiap kelompok saya beri tugas untuk membuat power point dan hasilnya nanti dipresentasikan dan didiskusikan dengan kelompok lainnya. Setiap kelompok saya beri tema yang berbeda. Saya beri murid kebebasan untuk menuangkan ide-ide mereka tanpa saya batasi dengan harus mengikuti apa yang saya inginkan,karena saya ingin menerapkan pembelajaran berdiferensiasi yang memperhatikan kebutuhan belajar murid. Pembelajaran berdiferensiasi yang saya rancang adalah diferensasi konten dan produk, dengan memetakan terlebih dahulu minat dan profil belajar murid.Karena kalau untuk kesiapan rata-rata murid baru menerima materi ini di kelas XI. Jadi benar-benar materi yang baru akan mereka pelajari. Saya beri batas waktu 1 minggu untuk menyelesaikan power pointnya dan pada pertemuan selanjutnya setiap kelompok sudah siap untuk presentasi. Saya ingatkan murid-murid untuk berbagi tugas.Siapa yang menyiapkan bahan materi,siapa yang akan mendesain power pointnya dan siapa saja yang akan presentasi dan jadi moderatornya. Akhirnya tibalah saatnya hari selasa. Dari pukul 08.00 WIB saya sudah share link google meet sambil mengingatkan murid-murid untuk tidak terlambat gabung dan sudah harus siap dengan power point yang akan dipresentasikan. Pukul 8.45 WIB link sudah saya buka,saya tunggu murid-murid gabung di gmeet. Tapi yang terjadi sampai pukul 09.10 yang gabung baru mencapai 60%. Karena khawatir waktu akan habis akhirnya saya memulai pembelajaran. Saya mulai dengan doa seperti biasa dan mengecek kehadiran. Banyak juga murid yang tidak hadir dan tidak ada pemberitahuan dari wali kelas,meskipun ada 2 orang yang sudah diinfokan oleh wali kelas bahwa kedua murid tersebut sakit,sisanya tanpa ada pemberitahuan. Presentasi pun dimulai. Kelompok yang tampil pertama adalah kelompok 1. Saya persilahkan mereka untuk presentasi tapi sampai 10 menit saya tunggu tidak ada satupun murid yang tampil. saya panggil-panggil nama-nama anggota kelompoknya tidak ada yang menyahut.mereka semua off camera padahal perjanjian setiap pembelajaran harus on camera. Akhirnya saya putuskan untuk berlanjut ke kelompok 2 yang harus tampil. Kelompok 2 tampil pun mereka terlihat sekali tanpa persiapan dan anggota kelompoknya pun tidak lengkap. Tampak sekali mereka pun tidak menguasai materi yang akan dipresentasikan. Selesai kelompok 2 tampil kembali saya panggil kelompok 1, ternyata kelompok 1 yang hadir hanya 2 orang. Pembagian kelompok seharunya setiap anggota ada 7-8 orang tapi untuk kelompok 1 hanya ada 4 orang, dan itupun yang hadir hanya ada 2 orang. Dan yang 2 orang inipun tidak memiliki power point yang harus dipresentasikan alasannya ada di temannya yang tidak hadir. Saya kecewa dan akhirnya saya pun marah. Saya tutup pembelajaran meskipun masih ada sisa waktu karena saya merasa suasana pembelajaran sudah tidak kondusif.

2. Feelings (Perasaan)

Saya kecewa dengan ketidak disiplinan murid-murid. Bagaimana mereka bisa menguasai materi jika power pointnya saja mereka tidak punya, pikiran itu yang berkecamuk dalam benak saya. Kecewa dan marah saya sudah tersulut dari awal saat mereka hadir gmeet pun terlambat. Saya bentak-bentak mereka selama sisa waktu yang ada . Saya juga mengancam tidak akan memberi mereka nilai untuk semua murid, termasuk kelompok 2 yang sudah tampil presentasi . Alasan saya waktu itu, mereka tidak tampil maksimal dan anggotanya tidak lengkap. Saya merasa murid-murid saya menyepelekan mata pelajaran yang saya ajar yaitu Pendidikan Agama Islam & BP. Saya katakan kepada murid-murid saya kedepannya hanya akan mengajar bagi murid-murid yang mau belajar saja. Tiba-tiba ada murid perempuan yang bicara, dia meminta maaf atas perwakilan teman-teman sekelasnya dan berjanji akan lebih displin lagi.

3. Findings (Pembelajaran):

Jujur saya juga kaget dengan sikap emosionalnya saya saat itu. Saya tidak menghargai kelompok lain yang sudah tampil dan kelompok yang sudah siap tampil. Waktu saya habiskan untuk meluapkan kemarahan bukan memberikan kesempatan kepada kelompok lain yang sudah siap. Padahal yang salah hanya 1 kelompok dan beberapa murid yang tidak hadir tapi imbasnya kepada seluruh murid. Saya merasa sudah berlaku tidak adil kepada mereka. Ketua kelas pun ngechat saya menyampaikan permohonan maaf dan berjanji akan mengajak teman-temannya untuk lebih displin dan sungguh-sunggguh dalam belajar. Berjanji untuk berubah menjadi lebih baik. Saya sebenarnya saat setelah mengikuti diklat calon guru penggerak merasakan bisa menjadi lebih sabar dan bijak dalam menghadapi murid, bisa lebih memahami dan mengenal karakter murid. Dari awal saya menjadi guru tidak pernah saya membentak-bentak mereka apalagi kepada murid yang tidak bersalah. 24 tahun saya mengabdi menjadi guru, selama ini dikenal oleh murid-murid guru yang nyaman untuk diajak curhat, guru yang tidak membebani murid dengan tugas dan selalu memaafkan jika ada kesalahan. Saya malu kepada diri sendiri, apalagi setelah 2 orang murid menyampaikan permohonan maaf karena sudah membuat saya jadi meluap-luap. Saya akui kondisi fisik saya memang sedang tidak fit saat mengajar. Kaki saya baru saja dioperasi karena jatuh dan saya belum bisa berjalan normal. Saya juga saat itu lagi batuk flu. Apakah karena kondisi fisik yang tidak fit menyebabkan psikis saya juga terganggu?. Ketua kelas juga memberitahu saya bahwa rata-rata murid tidak siap karena mereka juga harus mengerjakan tugas-tugas dari guru lain yang batas waktunya bersamaan.

4. Future (Penerapan)

Saya tersadar, beban belajar murid-murid saat pandemi seperti ini lebih berat daripada biasanya. Belajar dengan moda daring sudah merupakan perjuangan tersendiri, terlebih jika tugas dari guru-guru juga tetap banyak. Sementara itu, beban guru juga sama banyaknya. Saya mulai kehabisan ide untuk mengajar dengan kreatif tapi tanpa menambah berat mereka. Saya pun beristigfar berkali-kali setelah itu. Barulah saya menyadari, kemarahan saya merupakan akumulasi dari semua kejadian selama pandemi ini. Sudah di pucuk ubun-ubun, istilahnya. Selama ini saya tidak pernah membentak murid bukan berarti saya tidak pernah merasakan marah. Justru saya sering kesal dengan murid-murid yang jarang ikut Zoom aau Gmeet, apalagi terlambat terus dalam mengumpulkan tugas. Tapi semua selalu saya simpan. Mungkin kemarin adalah puncaknya, ditambah dengan kondisi kesehatan saya yang sedang tidak fit. Kesalahan saya adalah saya merasa tidak dihargai padahal dalam kondisi sakit tapi tetap melaksanakan kewajiban mengajar. Perasaan itu seharusnya tidak perlu ada. Seharusnya saya tidak melakukannya dan murid-murid saya menjadi korban. Minggu depan adalah modul tentang pembelajaran sosial dan emosional. Saya menaruh harapan besar pada modul tersebut. Saya harap saya bisa belajar banyak dari modul tersebut agar bisa mengatur emosi saya dengan lebih baik dalam kondisi apapun. Saya ingin tahu bagaimana menempatkan posisi sebagai guru yang profesional yang tidak mencampurkan masalah pribadi dengan tugas saya sebagai guru disaat saya berhadapan dengan murid. Saya juga akan mencari tahu bagaimana saya bisa menjaga semangat/motivasi murid saya selama pembelajaran jarak jauh ini. Saya yakin, mereka pun perlu penguatan dari segi batinnya. Saya ingin menciptakan suasana kelas yang nyaman bagi murid-murid.

2.1.a.9. Koneksi Antar Materi – Pembelajaran Berdiferensiasi Modul 2.1

Pengajaran menurut Ki Hajar Dewantara adalah proses pendidikan dalam memberi ilmu atau berfaedah untuk kecakapan hidup anak secara lahir dan bathin. Sedangkan pendidikan adalah memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar ia mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Jadi pengajaran dan pendidikan menurut Ki Hajar dewantara adalah usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya dalam arti yang seluas-luasnya. Adapun tujuan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah menuntut segala kodrat yang ada pada anak-anak,agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.

Dalam proses pendidikan dan pengajaran tentunya ada proses pembelajan. Pembelajaran seperti apa yang harus dirancang oleh guru agar tujuan pendidikan dan pengajaran dapat tercapai?.Dalam hal ini tentunya guru harus merancang pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan murid yang disebut dengan pembelajaran berdiferensiasi.

Menurut Tomlinson (2001: 45) Pembelajaran Berdiferensiasi adalah usaha untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan belajar individu setiap murid.

pembelajaran berdiferensiasi bukanlah berarti bahwa guru harus mengajar dengan 32 cara yang berbeda untuk mengajar 32 orang murid. Bukan pula berarti bahwa guru harus memperbanyak jumlah soal untuk murid yang lebih cepat bekerja dibandingkan yang lain. Pembelajaran berdiferensiasi bukanlah sebuah proses pembelajaran yang semrawut (chaotic), yang gurunya kemudian harus membuat beberapa perencanaan pembelajaran sekaligus, di mana guru harus berlari ke sana kemari untuk membantu si A, si B atau si C dalam waktu yang bersamaan. Maka dapat disimpulkan bahwa Menurut Tomlinson (2001: 45) Pembelajaran Berdiferensiasi adalah usaha untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan belajar individu setiap murid. Maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pemebelajaran berdiferensiasi adalah serangkaian keputusan masuk akal ( common sense ) yang dibuat oleh guru yang berorientasi kepada kebutuhan murid. Keputusan-keputusan yang dibuat tersebut adalah yang terkait dengan:

  1. Kurikulum yang memiliki tujuan pembelajaran yang didefinisikan secara jelas. Jadi bukan hanya guru yang perlu jelas dengan tujuan pembelajaran, namun juga muridnya.
  2. Bagaimana guru menanggapi atau merespon kebutuhan belajar muridnya. Bagaimana ia akan menyesuaikan rencana pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan belajar murid tersebut. Misalnya, apakah ia perlu menggunakan sumber yang berbeda, cara yang berbeda, dan penugasan serta penilaian yang berbeda.
  3. Bagaimana mereka menciptakan lingkungan belajar yang “mengundang’ murid untuk belajar dan bekerja keras untuk mencapai tujuan belajar yang tinggi. Kemudian juga memastikan setiap murid di kelasnya tahu bahwa akan selalu ada dukungan untuk mereka di sepanjang prosesnya.
  4. Manajemen kelas yang efektif. Bagaimana guru menciptakan prosedur, rutinitas, metode yang memungkinkan adanya fleksibilitas. Namun juga struktur yang jelas, sehingga walaupun mungkin melakukan kegiatan yang berbeda, kelas tetap dapat berjalan secara efektif.
  5. Penilaian berkelanjutan. Bagaimana guru tersebut menggunakan informasi yang didapatkan dari proses penilaian formatif yang telah dilakukan, untuk dapat menentukan murid mana yang masih ketinggalan, atau sebaliknya, murid mana yang sudah lebih dulu mencapai tujuan belajar yang ditetapkan.

Pembelajaran berdiferensiasi dapat dilakukan di kelas yang sudah tentu murid-muridnya memiliki karakteristik dan kebutuhan belajar yang berbeda antara satu dan yang lainnya. Oleh sebab itu sebelum proses pembelajaran dilaksanakan guru terlebih dahulu harus merancang pembelajaran dengan memetakan atau mengidentifikasi kebutuhan belajar murid lalu menentukan strategi pembelajaran berdiferensiasi sesuai dengan kebutuhan belajar murid yang sudah kita petakan. Tomlinson (2001) dalam bukunya yang berjudul How to Differentiate Instruction in Mixed Ability Classroom menyampaikan bahwa kita dapat mengkategorikan kebutuhan belajar murid, paling tidak berdasarkan 3 aspek.

Ketiga aspek tersebut adalah:

  1. Kesiapan belajar (readiness) murid
  2. Minat murid
  3. Profil belajar murid

Guru tentu tahu bahwa murid akan menunjukkan kinerja yang lebih baik jika tugas-tugas yang diberikan sesuai dengan keterampilan dan pemahaman yang mereka miliki sebelumnya (kesiapan belajar). lalu tugas-tugas tersebut memicu keingintahuan atau hasrat dalam diri seorang murid (minat), dan jika tugas itu memberikan kesempatan bagi mereka untuk bekerja dengan cara yang mereka sukai (profil belajar).

Sebagai contoh ,dalam pelajaran bahasa Indonesia, Bu Renjana ingin mengajarkan muridnya membuat karangan berbentuk narasi. Ia kemudian melakukan penilaian diagnostik. Ia menemukan bahwa ada tiga kelompok murid di kelasnya.

  • Kelompok A adalah murid yang telah memiliki keterampilan menulis dengan struktur yang baik dan memiliki kosakata yang cukup kaya. Mereka juga cukup mandiri dan percaya diri dalam bekerja.
  • Kelompok B adalah murid yang memiliki keterampilan menulis dengan struktur yang baik, namun kosakatanya masih terbatas.
  • Kelompok C adalah murid yang belum memiliki keterampilan menulis dengan struktur yang baik dan kosakatanya pun terbatas.

Apa yang dilakukan oleh Bu Renjana di atas adalah memetakan kebutuhan belajar berdasarkan kesiapan belajar.

Pembelajaran berdiferensiasi dapat memenuhi kebutuhan belajar murid dan membantu mencapai hasil belajar yang optimal yaitu apabila guru mampu menerapkan strategi pembelajaran berdiferensiasi diantaranya Diferensiasi konten, Diferensiasi proses dan Diferensiasi produk. Dan menggunakan alat yang dapat mengukur kesiapan belajar murid (Readines) yang bernama The Equalizer. Kesiapan belajar (readines) adalah kapasitas untuk mempelajari materi baru. Sebuah tugas yang mempertimbangkan tingkat kesiapan murid akan membawa murid keluar dari zona nyaman mereka, namun dengan lingkungan belajar yang tepat dan dukungan yang memadai, mereka tetap dapat menguasai materi baru tersebut.

Tomlinson (2001: 46) mengatakan bahwa merancang pembelajaran berdiferensiasi mirip dengan menggunakan tombol equalizer pada stereo atau pemutar CD. Untuk mendapatkan kombinasi suara terbaik biasanya Anda akan menggeser-geser tombol equalizer tersebut terlebih dahulu. Saat Anda mengajar, menyesuaikan “tombol” dengan tepat untuk berbagai kebutuhan murid akan menyamakan peluang mereka untuk mendapatkan materi, jenis kegiatan dan menghasilkan produk belajar yang tepat di kelas Anda.

Strategi pembelajaran diferensiasi konten bisa dilakukan berdasarkan minat murid misalnya saat belajar tentang teks narasi, guru dapat menyediakan murid-muridnya berbagai teks dengan topik yang disukai murid.

Diferensiasi konten dilakukan berdasarkan profil belajar dapat dilakukan dengan memastikan bahwa murid kita dapat mengakses materi ajar tersebut sesuai dengan gaya belajarnya.

Gaya belajar murid diantaranya :

  • Gaya belajar visual
  • Gaya belajar audio
  • Gaya belajar kinestetik

Diferensiasi Proses mengacu pada bagaimana murid memaknai atau memahami apa informasi/materi yang dipelajari. Guru harus bisa menemukan cara bagaimana kebutuhan murid dapat dipenuhi, proses seperti apa yang harus disiapkan.

Sedangkan diferensiasi produk adalah hasil dari pekerjaan atau unjuk kerja yang harus ditunjukkan oleh murid kepada kita. Produk adalah sesuatu yang ada wujudnya bisa berbentuk karangan, tulisan, hasil tes, pertunjukan, presentasi, pidato, rekaman atau diagram. Produk harus mencerminkan pemahaman murid dan berhubungan dengan tujuan pembelajaran yang diharapkan.

Selain tentang kebutuhan belajar murid, strategi pembelajaran, Lingkungan belajar dan penilaian pun sangat berpengaruh terhadap tujuan pembelajaran berdiferensiasi. Learaning community atau komunitas belajar dapat secara efektif mendukung implementasi pembelajaran berdiferensiasi. Begitupula penilaian menjadi dasar saat guru mengajar. Lewat proses penilaian guru dapat mengetahui kebutuhan belajar murid-muridnya. Penilaian akan berfungsi seperti sebuah kompas yang mengarahkan dalam praktik pembelajaran berdiferensiasi.

Pembelajaran berdiferensiasi sangat berkaitan dengan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, yaitu proses pembelajaran yang berpihak pada murid. Menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya), hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak. Peran guru penggerak yang mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif serta berpihak pada murid, terciptanya budaya positif di sekolah dan dukungan lingkungan belajar serta penilaian yang sesuai dengan kebutuhan belajar murid maka tujuan pendidikan agar murid dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya dapat tercapai.